Min alamatil i'timadi alal amali

◄Sebagian dari tanda-tanda bersandar kepada amal (anggota badan), adalah berkurang pengharapannya tatkala adanya kesalahan►
*****

Maka berkata syekh Ahmad Ibnu Atho-illah ra.
◄Sebagian dari tanda-tanda bersandar kepada amal, yakni amal anggota badan dari berbagai sholat serta dzikir dll. Adapun yang bersandar pada amal anggota badan ialah mereka dari golongan abidin dan muridin. Maka dari golongan (yang pertama) abidin mereka bersandar pada amal anggota badannya hanya semata-mata ingin dimasukan kedalam surga serta merasakan nikmat didalam surga, serta ingin selamat dari siksaan Alloh. Adapun dari golongan muridin mereka bersandar pada amal anggota badan semata-mata hanya ingin wushul kepada Alloh ta'ala, dan ingin terbukanya berbagai penutup yang ada dalam hatinya, dan ingin berhasil berbagai ahwal yang menetap didalam hati, dan ingin mukasyafah serta ingin berbagai asror. Akan tetapi dari kedua bagian (abidin & muridin yang bersandar pada amal anggota badan tersebut) dicacad serta timbul disebabkan melihat pada diri serta menghubungkan berbagai pekerjaannya pada hasil yang telah diceritakan (yaitu ingin hasil surga, ingin selamat dari siksaan Alloh, ingin wushul dan seterunya) sehingga pada akhirnya berbuahlah amal tersebut►

Kesimpulannya:
● Perkara yang menjadi sandaran amal anggota badan, diantaranya sholat, zakat, sodaqoh, puasa, dzikir, ikhlas, ridlo dll. 
● Golongan yang bersandar pada amal anggota badan ada dua golongan, abidin dan muridin. 
● Abidin bersandar pada amal anggota badan semata-mata hanya untuk menghasilkan surga dan kenikmatan surga, serta dijauhkan dari siksaan api neraka. 
● Muridin bersandar pada amal anggota badan, bertujuan hanya ingin wushul kepada Alloh swt, ingin terbuka tutup-tutup yang ada dalam hati, ingin hasil ahwal yang menetap didalam hati, ingin terbuka hati, ingin berbagai rahasiah-rahasiah ketuhanan. 
● Dari golongan abidin dan muridin yang masing-masing punya keinginan seperti diatas tadi, kata mushonnif dicacad, karena keinginan tersebut timbul dari melihat diri yang berbuat serta menghubungkan amal pada hasil yang diceritakan tadi. 

Penjelasan: 
Dalam hikmah ini mushonnif terlebih dulu menerangkan perkara yang biasa sering dijadikan sandaran. Kebiasan dari sebagian kalangan orang-orang yang beribadah, amal sholehnya senantiasa dijadikan alat  atau sarana untuk menempuh apa-apa yang menjadi tujuannya. Mereka beramal sholeh baik sholatnya, zakatnya, shodaqohnya hanya semata untuk memperolehi kelapangan rizki, ingin dijauhkan dari bencana dll. Ada juga orang-orang yang beramal sholeh dengan tujuan memgharapkan surga dan kenikmatan surga, serta  ingin dijauhkan dari siksaan api neraka. 
Nah inilah amal-amalan yang dikatagorikan amalan golongan abidin. 

Berbeda dengan golongan muridin, golongan muridin amalan yang seperti tadi dijadikan alat atau sarana untuk: 
● Wushul, ingin sampai kepada Alloh. 
● Ahwal, ingin mempunyai tingkal-laku qolbu yang mulia yang menetap dalam hati. 
● Mukasyafah, ingin terbuka berbagai penghalang yang menghalangi antara dirinya dengan Alloh. 
● Asror, ingin rahasiah-rahasiah halus yang ditanam dalam qolbu. 

Akan tetapi keinginan seperti itu (golongan abidin dan muridin) keduanya dicacad, karena, 
● Timbul dari melihat diri yang mampuh atau kuasa untuk melakukannya, dan merasa mampuh untuk memperolehi hasilnya. Jadi diri dan amalannya yang dijadikan sandaran - bukan Alloh, Alloh yang jadi sandarannya hilang dari tatapan hatinya. 
● Maksud dicacad disini bukan berarti menyalahkan amalan yang telah disebukan tadi, tetapi bagi setiap orang yang berjalan untuk menempuh martabat arifin sandaran seperti itu salah pasang.
●—●—●—●—●

Selanjutnya berkata syekh Ahmad Ibnu Atho-illah ra.
◄Adapun golongan arifin sedikit-pun mereka tidak melihat pada dirinya, sehingga sampai bersandar kepada Alloh, bahkan mereka bersaksi (pada amal perbuatan yang sedang dilakukannya), sesungguhnya yang beramal yang sejatinya, ia adalah Alloh ta’ala (yang memberi kemampuhan untuk beramal). Dan bahwasannya arifin, mereka jadikan dirinya tempat untuk mendhohirkan dzat Alloh saja►

Penjelasan. 
Adapun golongan arifin bukan perjalanan panca-indra, akan tetapi perjalanan rasa, dengan demikian kuatnya penglihatan batin hinggga mampuh menduduki diatas penglihatan lahir, hingga pada akhirnya bersaksi bahwa yang sesunggunya yang menggerakkan tangan, kaki hingga seluruh anggota tubuhnya tiada lain yang memberi kemampuhan tersebut hanyalah Alloh semata. 

Ketahuilah, bahwa didalam diri setiap manusia punya penglihatan yang sangat dahsyat, yang mampu menembus berbagai penghalang, yang mampu melihat tampa batas, yang mampu melihat intisari setiap perkara, itulah yang disebut penglihatan rasa.

Contoh kecil: 
Kalau manusia disuruh memilih antara emas dengan pisang yang sama rupa dan beratnya, kira-kira yang dipilih apa? Tentunya memilih emas ketimbang pisang. 
Ada sebuah pohon yang subur dari mulai akarnya, batangnya, rantingnya, daunnya serta buahnya, nah kira-kira didalamnya ada yang namanya air?, kalau jawabannya ada, nah itulah yang dinamakan penglihatan rasa, penglihatan orang-orang yang sudah ma’rifat yang sudah mampuh melihat dzat Alloh. 
Maka disini mushonnif memberikan contoh bahwa golongan arifin dijadikan dirinya tempat untuk mendhohirkan dzat Alloh saja, sesuai dengan firman Alloh:

◄Maka ke manapun kamu menghadap di situlah dzat Allah►
(Surat 2 Al-Baqarah: 115)
Yakni kemana saja dipalingkan tatapan matamu baik kealam hissi, kealam maknawi, kealam mulki, kealam jabarut, kealam shogir, kealam kabir, kealam khoyal, tumbuhan, binatang, gunung, lautan, batu dan lain sebagainya…, maka disanalah keberadaan Dzat Alloh Azza wa jalla.

◄Dan Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu perbuat itu►
(Surat 37 Ash-Shaaffaat: 96)
●—●—●—●—●

Selanjutnya berkata syekh Ahmad Ibnu Atho-illah ra.
◄Dan, selanjutnya mushonnif ra memberi petunjuk akan tanda-tanda yang bisa diketahui dengan tanda tersebut. yakni oleh dirinya si abdi. Maka sebagian dari tanda-tanda keadaannya si abdi dari dua bagian yang awal kedua-duanya (abidin & muridin). Yaitu berkurangnya pengharapan, yakni pengharapannya si abdi kepada Alloh ta'ala, agar supaya Alloh memasukannya kesurga dan menyelamatkannya dari siksaan, kalau terbukti mereka itu dari golongan abidin. Dan agar Alloh menyampaikannya atas apa-apa yang dicarinya tadi (maksudnya ingin wushul kepada Alloh, dan ingin terbukanya berbagai penutup yang ada didalam hatinya, dan ingin berhasil berbagai ahwal yang menetap dalam hati, dan ingin mukasyafah serta ingin berbagai asror) kalau terbukti mereka itu dari golongan muridin (maka berkurang harapan abidin & muridin, yaitu) tatkala terjadinya kesalahan (yakni terpeleset) dengan munculnya dari diri si abdi maksiat (dosa) seperti zina atau ghoflah (lupa) kepada Allah ta'ala atau meninggalkan wirid►

Kata yang sulit:
‘Inda wujudiz zilali: disana ada kata ZILAL, yang dimaksud dengan ZILAL disini yaitu melakukan kesalahan dengan tiada unsur kesengajaan, dan sebagai bentuk dosanya ia dinamakan HAFWAH.

Kesimpulan. 
Disini mushonnif memberikan tanda-tanda dari masing-masing golongan diatas tadi yang menjadi penyebab berkurangnya harapan kepada Alloh. 

Abidin. 
Dari golongan abidin akan berkurang harapannya apabila terpeleset melakukan kesalahan atau menimpanya perbuatan dosa, seperti zina, mabuk, membunuh, merampok dll

Muridin. 
Dari golongan muridin akan berkurang harapannya apabila terpeleset melakukan kesalahan atau menimpanya perbuatan dosa, seperti ghoflah atau meninggalkan berbagai wiridan.

Contoh kecil: 
Ceritanya ada seorang dokter dia bersandar pada obat yang dia berikan kepada sang pasien, obat itulah yang akan menyembuhkannya, tetapi setelah 15 menit kemudian sang pasien tambah parah penyakitnya. Kira-kira akan bertambah atau berkurang harapan sang dokter?. Tentunya balik berpikir “ada apa dengan obat ini” 
Tetapi kalau sang dokter tadi bersandar dan penuh harapan kepada Alloh, Alloh yang menentukan segalanya. Hasil pemikirannya akan jauh berbeda, sekalipun sang pasien meninggal, karena dia akan merasa bukanlah obat yang jadi penyebab, tetapi Alloh-lah yang jadi penyebab.
●—●—●—●—●

Selanjutnya berkata syekh Ahmad Ibnu Atho-illah ra.
◄Dan, sebagian dari tanda-tanda keadaannya si abdi dari golongan arifin yaitu FANA' dari dirinya, maka tatkala dihadapkan dalam kesalahan atau kedatangan ghoflah (lupa kepada Allah) maka bersaksi nashorufnya alhaqq pada dirinya, serta bersaksi terhadap perjalanan qodlonya (Alloh) atas diri arifin. Seperti perkara, sesungguhnya arifin tatkala muncul dari diri arifin seperti toat, atau jelas Musyahadatan Qolbiyatan (bersaksi yang dikategorikan bangsa hati) maka tidak melihat didalam Musyahadatan Qolbiyatan pada upaya dan kekuatannya, maka tidak ada bedanya bagi arifin antara dua tingkah (tingkah toat dan bersaksi bangsa hati). Karena sesungguhnya (arifin) adalah orang yang tenggelam didalam lautan ketahuidan, sungguh sama antara takut dan harap-nya, maka tidak berkurang maksiatnya akan takutnya arifin, dan tidak bertambah kebaikannya akan harapannya (arifin)►


Kesimpulan. 
Arifin. 
Adapun dari golongan arifin andaikata terpeleset kesalahan atau menimpanya perbuatan dosa dari sekian banyak ketaatannya, maka mereka tidak melihat bentuk kesalahan atau bentuk perbuatan dosanya, karena fana’nya dari hal tersebut, dan karena bersaksi nashorufnya Alhaqq pada dirinya, juga bersaksi pada perjalanan qodlo qodarnya Alloh yang menimpa dirinya, tidak ada bedanya antara dua tingkah seperti tingkah toat dengan tingkah maksiat karena sudah ada didalam maqom istiqomah, sudah ada didalam maqom lautan ketauhidan. Tidak ada satu amalanpun yang menggoncangkan hatinya, sungguh sama antara toat dan maksiat, antara khouf dan roja’, antara basthu dan qobdlu. 

Golongan arifin bisa diibaratkan pada seseorang yang ahli dalam bidang menjalankan kendaraan bermotor. Apapun yang dihadapinya tak jadi beban pikirannya, dan tak jadi dampak dalam hatinya, tidak ada bedanya antara bahaya dan keselamatannya, walau rintangan ada didepan mata. Belok ke kiri belok ke kanan, belok ketengah tampa dikomando dan diperintah lagi oleh sang hati, sekalipun hampir menabrak, dia dengan gesit dan tangkasnya menghindar dari ancaman maut.

Berbeda dengan orang yang baru belajar, dicari jalannya yang enak-enak dengan rasa yang penuh waswas, takut begini, takut begitu, kebetulan dihadapken dengan bahaya...wah ...kalangkabutnya minta ampun, bisa-bisa celaka dengan tingkahnya sendiri.
●—●—●—●—●

Selanjutnya berkata syekh Ahmad Ibnu Atho-illah ra.
◄Maka barang siapa yang belum menemukan tanda-tanda yang ada didalam diri arifin, maka mesti bersungguh-sungguh melawan nafsunya dengan riyadloh (latihan) serta memperbanyak dzikir sehingga sampai pada maqom arifin. Maka (dari itu) yang diharapkan oleh mushonnif didalam hikmah ini yaitu untuk membangkitkan gairah salikin, dan menghilangkan ambisinya dari bersandar atas sesuatu perkara selain tuanNya (maksudnya Allah)►

Penjelasan. 
Tadi dikatakan oleh mushonnif mesti bersungguh-sunggguh melawan nafsu dengan riyadhoh serta memperbanyak dzikir, tujuannya nyaitu agar supaya mencapai derajat arifin, maka cara melawan hawa nafsunya ialah dengan mempasifkan semua keinginan yang ditimbulkan dari kehendak diri dijalurkan dengan aturan-aturan agama, lalu hubungkan semuanya kepada Alloh. Dan memperbanyak dzikir dalam semua aktivitas dengan menyebut-nyebut didalam hati, inilah qodlonya Alloh, inilah qodarnya Alloh, inilah qudrotnya Alloh, tidak ada daya didalam diri ini, tidak punya kekuatan didalam diri ini kecuali dengan idzinmu ya Alloh. Hingga terasa buktinya bahwa didalam diri ini sungguh ada suatu kekuatan yang maha dahsyat, Insya Alloh. 

Sekarang penjelasan salikin atau orang yang ber-suluk. 
Bahasan mengenai salikin didalam bab ini pasti membingungkan, mula-mula mushonnif mebahas abidin, muridin dan arifin sekarang berpindah pada salikin, mungkin hal seperti ini akan menimbulkan tanda tanya, Insya Alloh mudah-mudahan Alloh memberikan taufiq dan hidayahnya.

Begini.
Setelah kita membaca hikmah ini dari mulai awal hingga sampai akhir, bagaimana keadaan abidin, muridin, dan juga arifin, lalu setelah itu kita diberi pemahaman oleh Alloh swt sehingga terketuk hati untuk merintis serta mengamalkan ilmu yang telah dipahaminya, nah itulah yang dinamakan salikin. Salikin ialah orang yang berjalan dengan amal serta ilmu yang didapatinya untuk mencapai satu tujuan dengan menaiki satu tangga demi tangga atau dari satu martabat ke martabat lainnya atau satu maqom ke maqom lainnya secara estafet / bersambungan.
Definisi salikin:
◄Yaitu orang yang berjalan untuk mengarungi berbagai maqom (derajat/martabat/tempat) dengan ilmunya serta amalnya, bukan hanya dengan ilmunya saja►

Maksud berbagai maqom disini ialah, maqom syukur, maqom shobar, maqom taubat, maqom khouf, maqom roja’, maqom ridlo, maqom ikhlas, maqom mahabbah dan seterusnya. 

Jadi salikin itu ialah orang yang sedang suluk yang sedang menggeluti maqom untuk merasakan bagaimana pahit dan manisnya suatu kedaan, misalnya: 

Dalam maqom syukur.
● Syukuri ketika datang hal-hal yang menyenangakan, lalu rasakan dari hal yang menyenangkan itu, dimana letak kesenangannya dan dimana letak kepahitannya. 
● Syukuri ketika datang hal-hal yang pahit, lalu rasakan, dimana letak kepahitannya dan dimana letak kesenangannya. Sehingga pada akhirnya kita akan tahu bahwa didalam kesenangan ada yang namanya pahit, begitu juga didalam kepahitan ada yang namanya senang. 

Didalam maqom taubat. 
● Bertobat ketika datang kesalahan, lalu rasakan, bagaimana pahitnya bertobat dari kesalahan dan bagaimana manisnya bertobat dari kesalahan. 
● Bertobat ketika datang kebaikan, lalu rasakan, dimana letak pahit dan manisnya. 

Penjelasan mengenai maqom-maqom orang suluk sebetulnya dibahas dalam satu kitab, tidak seperti disini, tapi Insya Alloh mudah-mudahan dengan satu contoh saja kita diberi pemahaman serta dapat menyimpulkan mengenai maqom-maqom yang lainnya. 

Renungan.
Dikatakan dalam hadits, bahwa Rosululloh saw setiap malamnya membaca istighfar 100 kali, sedangkan Nabi kita itu sudah dima’shum oleh Alloh dari setiap kesalahan, jadi yang dilakukannya setiap malamnya nabi istighfar 100 kali, bertobat dari kesalahan apa? (kata orang sunda mah, nobatan naon atuh Nabi teh, meuni unggal weungi istighfar dugi ka 100 kali).
●—●—●—●—●

Selanjutnya berkata syekh Ahmad Ibnu Atho-illah ra.
◄Maka jangan kosong didalam beramal, karena sesungguhnya amal jadi sabab bangsa adat dalam wushul kepada Alloh, serta bukan untuk menghinakan pada sesuatu yang akan berbuah dari ahwal, juga selain ahwal, karena sesungguhnya ahwal adalah anugrah dari Alloh, tidak pantas untuk menolaknya►

Penjelasan.
Bagi orang yang sedang suluk jangan sampai kosong dari amal, jangan sampai melalaikan aturan-aturan yang sudah ditentukan oleh hukum syara’, karena hukum syara’ adalah sababun adiyyun - sebagai jembatan untuk meraih cita-cita, apalagi sebagian ulama mengatakan:
◄Karena sesungguhnya hakekat tampa syari’at adalah batal, begitu juga syari’at tampa hakekat adalah kosong►

Selanjutnya mushonnif melarang salikin bahwa jangan sampai menghina terhadap perkara yang akan menghasilkan ahwal atau selainnya, dengan kata lain jangan sampai menghinakan / menganggap enteng terhadap amalan dzikir, sholat, puasa dll, apalagi sampai menolak ahwal (ahwal = pertingkah yang berada didalam rasa).

Mudah-mudahan Alloh memberi taufiq dan hidayahnya sehingga kita diberi pemahaman, amiin ya robbal ‘alamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar